ngocehnya anak Tek.Pangan

Tugas artikel matkul Pengembangan Produk Pangan. hehe

Semoga ga sekedar ngoceh. Ketika aku jadi “orang” nanti, smoga aku selalu ingat yang pernah kutulis ini.

 

Indonesia merupakan Negara yang sangat luas dan kaya. Indonesia tidak hanya memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, tetapi juga kebudayaan yang beraneka ragam. Dari segi geografis, negeri kita ini memiliki wilayah laut terluas (5,8 juta km2) dan jumlah pulau terbanyak (17.508 pulau). Panjang kepulauan Indonesia dari ujung ke ujungnya sama dengan jarak Dublin, Irlandia hingga Moskow, Rusia. Panjang pantainya mencakup 81.000 km dan merupakan panjang pantai kedua di dunia setelah Canada, namun merupakan pantai tropis terpanjang di dunia(1).

Negeri dengan iklim tropis dan jumlah pulau sebanyak ini sudah barang tentu memiliki kekayaan alam yang berlimpah. Seperti lirik lagu Koes Ploes pada era 90-an yang berbunyi “tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, amat tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Indonesia mendapatkan berkah dari Tuhan yang amat banyak. Misalnya, pohon nangka yang tidak membutuhkan perawatan khusus bisa tumbuh melimpah, atau tanaman singkong yang dapat hidup hampir di segala jenis tanah.

Penduduk yang tinggal di Indonesia pun sangat banyak. Bank Dunia memberikan keterangan bahwa di tahun 2009, penduduk Indonesia mencapai 230 juta jiwa. Dengan begitu banyak keberlimpahan yang ada di Negeri ini, sungguh sangat ironis bila Indonesia masih memenuhi kebutuhan pangan penduduknya dengan makanan impor. Pangan merupakan kebutuhan primer bagi manusia untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Maka, Indonesia dengan kekayaannya harus menjamin pemenuhan kebutuhan penduduknya dengan menjadi negara yang mandiri dalam bidang pangan.

Adanya penduduk yang begitu banyak merupakan suatu kesempatan emas pagi setiap pengusaha makanan di Indonesia untuk terus berkembang karena 230 juta penduduk tersebut harus selalu makan agar dapat tetap melangsungkan hidupnya. Tetapi pada kenyataanya, hal tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik. Produk makanan lokal di Indonesia selalu kalah dengan produk pangan yang berbahan baku impor. Saat ini, masyarakat Indonesia masih memilih mie instant menjadi makanan pokok kedua mereka setelah beras. Padahal, mie instant itu sendiri merupakan makanan yang berbahan dasar tepung terigu yang terbuat dari gandum yang notabene merupakan jenis tanaman yang tidak dapat tumbuh di tanah Indonesia. Tidak hanya dalam bidang pangan, tetapi juga dalam bidang energi, Indonesia menjadi negara pengimpor minyak mentah dari Timur Tengah. Volume impor minyak mentah Pertamina saat ini mencapai 400.000 barrel per hari (2).

Dahulu kita biasa menyebut Indonesia sebagai ini negara agraris. Tetapi, sekarang, kenyataanya, kesejahteraan petani di Indonesia mengalami keprihatinan dimana kesejahteraan petani terus menurun dari tahun ke tahun. Dan semakin lama semakin tampak fenomena bahwa generasi muda sekarang tidak tertarik pada bidang pertanian. Bidang pertanian semakin ditinggalkan generasi muda yang ada karena bidang pertanian di Indonesia identik dengan sistem pertanian yang tradisional serta sistem yang kurang efisien dengan masih menggunakan tenaga manusia.

Mari kita cermati beberapa fenomena yang terjadi di Indonesia. Dengan begitu banyaknya komoditi lokal yang berkualitas sama, dan bahkan lebih tinggi daripada komoditas negara lain, kita belum bisa mengambil manfaat yang optimal. Sebagai contoh, misalnya, saat ini pemenuhan karbohidrat rakyat Indonesia sangat banyak disuplai oleh terigu yang berasal dari gandum impor dari Amerika, oleh sebab yang telah disu=inggung sebelumnya. Padahal, Indonesia memiliki bahan pangan yang potensial, seperti singkong/ubi kayu. Dengan fleksibilitas produk turunan yang tinggi, singkong seharusnya mampu menggantikan terigu sebagai bahan baku berbagai makanan seperti roti, mie, dan biskuit.
Jika kita meninjau aspek energi, banyak sekali tanaman asli Indonesia yang berpotensi mendukung penghematan bahan bakar fosil seperti minyak dan gas bumi. Sebut saja kelapa sawit. Produk buangan dari industri minyaknya (sabut dan tandan) dapat dijadikan bahan bakar berbagai proses di industri atau diolah menjadi bioetanol.

Di bidang agronomi, kita mendapati kondisi di mana petani selalu menjadi pihak yang selalu dirugikan. Kesejahteraan mereka berada pada tingkat yang sulit tertolong karena berada dalam “lingkaran setan” antara tengkulak dan pasar. Padahal, dengan sedikit pengetahuan mengenai peningkatan nilai jual suatu hasil pertanian, bukan tidak mungkin kondisi tersebut dapat dibuah seratus delapan puluh derajat. Misalnya, untuk menekan kerugian, petani dianjurkan memiliki alat transportasi sendiri agar margin harga pokok komoditi dengan harga jualnya di pasaran relatif kecil. Alangkah lebih baik pula jika para petani melakukan pengolahan tahap awal terhadap hasil pertanian mereka, dapat berupa pengawetan sederhana atau pengemasan. Dengan begitu, rantai pemasaran komoditi pertanian lebih panjang dan keuntungan petani pin semakin besar.

Berbagai pemanfaatan kearifan lokal tersebut bukannya sama sekali belum dilakukan. Namun, kita masih menganut budaya gengsi dan kurang percaya diri untuk mengubah dunia melalui kekayaan negeri. Paradigma berpikir masyarakat bahwa produk negara lain lebih bagus menciptakan stagnasi industri dalam negeri dan segala teknologi yang seharusnya mendukungnya. Kondisi tersebut didukung pula oleh ketidakberdayaan, jika tidak ingin menyebut kurang percaya dirinya, pemerintah untuk mengurangi pasokan impor berbagai komoditi yang sebetulnya mampu digantikan oleh produk kita sendiri.

Tinggalkan komentar